Keingintahuan
yang membuat saya tertarik untuk menulis tentang geisha karena dari beberapa sumber yang pernah
saya baca menjelaskan bahwa menjadi seorang geisha itu tidak lah mudah, maka
saya pun ingin membagikan pengetahuan ini kepada pembaca sekalian.
Apa yang
terbesit dipikiran anda ketika mendengar kata ‘Geisha’ ?
Ya,anda
benar..seorang geisha tidak pernah tampil dengan wajah polos. Seorang geisha
selalu bermake up dengan muka putih tebal, bibir merah, bersanggul, dan mengenakan
pakaian tradisional Jepang yaitu kimono. Yang menarik, pada leher bagian belakang, di batas anak rambut, kulit
sengaja tidak dibedaki, sehingga memperlihatkan kulit asli sang geisha. Hal ini
dilakukan untuk menggambarkan ketelanjangan yang sensual. Paling tidak,
begitulah menurut selera lelaki Jepang.
Geisha pertama kali muncul
pada tahun 1600-an. Pada masa itu, pusat pemerintahan Jepang berada di kota
Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo, dengan Shogun sebagai penguasa
penuh. Pada awalnya, geisha adalah laki-laki. Mereka menari dan menyanyi untuk
menghibur para tamu. Namun kemudian, geisha laki-laki digantikan oleh geisha
perempuan, dan hingga sekarang semua geisha adalah perempuan.
Jauh dari kehidupan sehari-hari, geisha adalah golongan elit. Bagi
kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi
simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya
Jepang. Geisha sendiri berarti ‘seniman’.
Untuk menjadi geisha,
seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha), dengan biaya yang
sangat mahal. Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional
Jepang yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki
pengetahuan luas sehingga bisa diajak berbicara apa saja. Geisha juga harus
berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati para pria pelanggannya.
Keberadaan geisha dalam struktur
kehidupan Jepang sudah berlangsung selama 400 tahun. Pada suatu masa dalam
sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan
tinggi, meskipun kini mereka hampir punah terlibas zaman …
Pada tahun 1779 geisha diakui
sebagai sebuah profesi. Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk
mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur. Geisha bertugas menghibur
tamu dalam pesta, tetapi tidak melacurkan diri secara bebas. Untuk itu, Kenban
mengeluarkan peraturan yang mengharuskan geisha diantar pergi dan pulang dari
pesta, agar mereka tidak ‘berbelok di jalan’.
Bagaimana perjalanan seorang
perempuan hingga menjadi geisha?
Kyoto adalah pusat keberadaan
geisha. Di Kyoto terdapat wilayah yang disebut Gion, yang merupakan tempat
gadis-gadis muda mengawali karier sebagai geisha. Gadis-gadis kecil berumur 7
atau 8 tahun mulai dididik disini, dan selama bertahun-tahun mereka dilatih
oleh guru geisha, belajar bahasa, memainkan alat musik Shamisen, menari,
dan sebagainya. Murid dari Gion disebut Maiko. Biaya
pendidikan geisha, serta biaya untuk membeli kimono dan perlengkapan lainnya,
mencapai 500.000 $US.
Para geisha tinggal di okiya (rumah geisha) yang dipimpin
oleh ‘Ibu Geisha’. Hubungan di antara sesama geisha sangat erat, seringkali
melebihi kedekatan hubungan dengan keluarga sendiri. Geisha-geisha yang masih
muda memiliki ‘kakak geisha’ yang membimbing mereka untuk menjadi geisha
sempurna.
Dalam kehidupan geisha dikenal
adanya mizuage (memerawani), yaitu
menjual kegadisan pada penawar tertinggi, yang berlangsung sejak tahun 1930-an.
Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar !
Mizuage ini seringkali menjadi peristiwa traumatis bagi seorang geisha.
Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka
berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di
belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya
kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang,
mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk
mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru riasnya.
Seorang geisha tidak boleh
menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dari Danna, pria yang menjadi kekasih dan
menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut
untuk selalu tampil mewah. Di sebuah toko di Gion, harga sebuh tali untuk
mengikat obi (ikat
pinggang kimono) mencapai 220 $US, sementara harga tas pelengkap kimono
mencapai 500 $US. Namun demikian, penghasilan seorang geisha juga cukup besar.
Untuk tampil selama 1 jam, tamu harus membayar 500 $US. Mameka, seorang geisha
senior, memiliki penghasilan 8000 $US per bulan. Ia memiliki Danna yang kaya raya, yang
membelikannya sebuah apartemen mewah seharga 850.000 $US. Mameka menjadi contoh
ideal bagi para maiko, geisha muda
di Gion.
Kini, jumlah geisha di Tokyo
tinggal sekitar 100 orang. Namun demikian, di pantai Atami, muncul sebuah
tempat bernama Hot Spring Geisha, dimana para wanita tuna susila menyamar
sebagai geisha, dan melakukan pertunjukan dengan harga tiket yang sangat murah.
Para geisha palsu ini menari dan menyanyi sekedarnya, bahkan rambut mereka pun
palsu (semacam wig yang tinggal dipasang di kepala). Dengan membayar 8$US,
orang dapat menyaksikan ‘geisha’ Hot Spring menari dan menyanyi. Begitupun,
pengunjung puas, dan percaya mereka telah benar-benar menyaksikan geisha.
Demikian sedikit gambaran tentang
kebudayaan Geisha di negeri sakura Jepang, semoga tulisan saya menambah
pengetahuan tentang kebudayaan dan sekaligus bermanfaat untuk anda pembaca sekalian.
Terima Kasih
(Sumber : tutinonka.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar