Selasa, 02 Oktober 2012

GEISHA DI NEGERI SAKURA JEPANG


Keingintahuan yang membuat saya tertarik untuk menulis tentang  geisha karena dari beberapa sumber yang pernah saya baca menjelaskan bahwa menjadi seorang geisha itu tidak lah mudah, maka saya pun ingin membagikan pengetahuan  ini kepada pembaca sekalian.

Apa yang terbesit dipikiran anda ketika mendengar kata ‘Geisha’ ?

Ya,anda benar..seorang geisha tidak pernah tampil dengan wajah polos. Seorang geisha selalu bermake up dengan muka putih tebal, bibir merah, bersanggul, dan mengenakan pakaian tradisional Jepang yaitu kimono. Yang menarik, pada leher bagian belakang, di batas anak rambut, kulit sengaja tidak dibedaki, sehingga memperlihatkan kulit asli sang geisha. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan ketelanjangan yang sensual. Paling tidak, begitulah menurut selera lelaki Jepang.


Geisha pertama kali muncul pada tahun 1600-an. Pada masa itu, pusat pemerintahan Jepang berada di kota Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo, dengan Shogun sebagai penguasa penuh. Pada awalnya, geisha adalah laki-laki. Mereka menari dan menyanyi untuk menghibur para tamu. Namun kemudian, geisha laki-laki digantikan oleh geisha perempuan, dan hingga sekarang semua geisha adalah perempuan.

Jauh dari kehidupan sehari-hari, geisha adalah golongan elit. Bagi kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya Jepang. Geisha sendiri berarti ‘seniman’.

Untuk menjadi geisha,  seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha), dengan biaya yang sangat mahal. Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional Jepang yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki pengetahuan luas sehingga bisa diajak berbicara apa saja. Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati para pria pelanggannya.


Keberadaan geisha dalam struktur kehidupan Jepang sudah berlangsung selama 400 tahun. Pada suatu masa dalam sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan tinggi, meskipun kini mereka hampir punah terlibas zaman … 

Pada tahun 1779 geisha diakui sebagai sebuah profesi. Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur. Geisha bertugas menghibur tamu dalam pesta, tetapi tidak melacurkan diri secara bebas. Untuk itu, Kenban mengeluarkan peraturan yang mengharuskan geisha diantar pergi dan pulang dari pesta, agar mereka tidak ‘berbelok di jalan’.

Bagaimana perjalanan seorang perempuan hingga menjadi geisha?

Kyoto adalah pusat keberadaan geisha. Di Kyoto terdapat wilayah yang disebut Gion, yang merupakan tempat gadis-gadis muda mengawali karier sebagai geisha. Gadis-gadis kecil berumur 7 atau 8 tahun mulai dididik disini, dan selama bertahun-tahun mereka dilatih oleh guru geisha, belajar bahasa, memainkan alat musik  Shamisen, menari, dan sebagainya. Murid dari Gion disebut Maiko. Biaya pendidikan geisha, serta biaya untuk membeli kimono dan perlengkapan lainnya, mencapai 500.000 $US.

Para geisha tinggal di okiya (rumah geisha) yang dipimpin oleh ‘Ibu Geisha’. Hubungan di antara sesama geisha sangat erat, seringkali melebihi kedekatan hubungan dengan keluarga sendiri. Geisha-geisha yang masih muda memiliki ‘kakak geisha’ yang membimbing mereka untuk menjadi geisha sempurna.

Dalam kehidupan geisha dikenal adanya mizuage (memerawani), yaitu menjual kegadisan pada penawar tertinggi, yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar ! Mizuage ini seringkali menjadi peristiwa traumatis bagi seorang geisha.

Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang, mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru riasnya.

Seorang geisha tidak boleh menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dari Danna, pria yang menjadi kekasih dan menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut untuk selalu tampil mewah. Di sebuah toko di Gion, harga sebuh tali untuk mengikat obi (ikat pinggang kimono) mencapai 220 $US, sementara harga tas pelengkap kimono mencapai 500 $US. Namun demikian, penghasilan seorang geisha juga cukup besar. Untuk tampil selama 1 jam, tamu harus membayar 500 $US. Mameka, seorang geisha senior, memiliki penghasilan 8000 $US per bulan. Ia memiliki Danna yang kaya raya, yang membelikannya sebuah apartemen mewah seharga 850.000 $US. Mameka menjadi contoh ideal bagi para maiko, geisha muda di Gion.

Kini, jumlah geisha di Tokyo tinggal sekitar 100 orang. Namun demikian, di pantai Atami, muncul sebuah tempat bernama Hot Spring Geisha, dimana para wanita tuna susila  menyamar sebagai geisha, dan melakukan pertunjukan dengan harga tiket yang sangat murah. Para geisha palsu ini menari dan menyanyi sekedarnya, bahkan rambut mereka pun palsu (semacam wig yang tinggal dipasang di kepala). Dengan membayar 8$US, orang dapat menyaksikan ‘geisha’ Hot Spring menari dan menyanyi. Begitupun, pengunjung puas, dan percaya mereka telah benar-benar menyaksikan geisha.

Demikian sedikit gambaran tentang kebudayaan Geisha di negeri sakura Jepang, semoga tulisan saya menambah pengetahuan tentang kebudayaan dan sekaligus bermanfaat untuk anda pembaca sekalian.
Terima Kasih

(Sumber : tutinonka.wordpress.com) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar