Perusahaan memang
bertujuan untuk mendapatkan profit setinggi-tingginya tapi tetap harus
memperhatikan lingkungan eksternalnya dalam kasus ini adalah konsumen.
Terkadang perusahaan lalai dan mengabaikan hak-hak konsumennya mengenai
informasi produk mereka yang seharusnya penting untuk diketahui konsumen.
Perusahaan juga seharusnya mematuhi peraturan yang berlaku dan memenuhi
standar-standar untuk menciptakan produk yang layak dan aman untuk dikonsumsi. Tidak
sedikit produk-produk yang diluncurkan oleh perusahaan memiliki masalah dan
mengalami kegagalan saat dipasarkan.
Pada hari Rabu, 7
Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur
dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan
Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia,
sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian,
dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT
dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti
keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan
terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung. HIT yang promosinya
sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan
hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang
sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang
dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi
ulang).
Ditemukannya zat
berbahaya seperti Propoxur dan Diklorvos pada produk obat anti-nyamuk yang
dibuat oleh PT Megarsari Makmur yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan tentu
saja sangat mengagetkan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi ? Padahal sudah
ada undang-undang yang mengatur hak-hak konsumen, yaitu UU No.8 tahun 1999
mengenai perlindungan konsumen.
Deptan juga telah
mengeluarkan larangan penggunaan Diklorvos untuk pestisida dalam rumah tangga
sejak awal 2004 (sumber : Republika Online). Hal itu membuat kita dapat melihat
dengan jelas bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh berusaha melindungi
masyarakat umum sebagai konsumen. Para produsen masih bisa leluasa menciptakan
produk baru dan dengan mudahnya memasarkannya tanpa ada monitoring ketat dari
pihak pemerintah.
Jika dilihat
menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kasus obat
anit-nyamuk HIT tersebut menyalahi ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dilangar oleh PT Megarsari
Makmur sebagai produsen pbat anti-nyamuk HIT :
1. Pasal 4, hak
konsumen adalah :
a.
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Disini PT Megarsari
Makmur melanggar hak konsumen tersebut. Ia telah terbukti menghasilkan produk
yang memiliki kandungan zat Propoxur dan Dichlorvos yang sangat berbahaya
sehingga mengancam keselamatan konsumen penggunanya. Menurut Indonesian
Pharmaceutical Watch (IPhW), senyawa Propoxur dan Dichlorvos bersifat karsinogenik
(menyebabkan kanker). Di Amerika, Propoxur diijinkan penggunaannya terbatas
untuk perkebunan. Sementara Dichlorvos tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam lemak.
b.
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
Selama ini PT
Megarsari Makmur tidak pernah memberitahukan bahwa zat-zat yang terkandung di
dalam obat anti-nyamuk HIT mengandung zat-zat berbahaya. Di iklannya hanya
dikatakan,” kalau ada yang murah kenapa beli yang mahal”. Konsumen jelas
dibohongi.
2. Pasal 7,
kewajiban pelaku usaha adalah :
a.
Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
PT Megarsari Makmur
tidak pernah memberitahukan kondisi serta penjelasan tentang penggunaan obat
anti-nyamuk HIT dalam publikasinya melalui iklan televisi maupun cetak. Menurut
Prof. DR. Ir. Edhi Martono, M. MSc, dosen Toksikologi Pestisida Fakultas
Pertanian UGM, ketika menggunakan obat anti-nyamuk, sebaiknya setelah kamar
disemprot, kamar tersebut harus didiamkan paling tidak setengah sampai satu jam
dan pintu kamar harus ditutup. Setelah itu baru orang boleh masuk lagi.
3. Pasal 8
a.
Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
b.
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran”
Menurut kedua ayat
diatas, pelaku usaha dilarang memproduksi dan memperdagangkan barang yang tidak
memenuhi standar yang disyaratkan. Jika ia terbukti melakukan pelanggaran
tersebut, barang tersebut harus ditarik dari peredaran. PT Megarsari Makmur
melanggar kedua ayat diatas. Ia memproduksi obat anti-nyamuk HIT yang tidak memenuhi
ketentuan baik dari Deptan, Depkes, maupun BPOM dan ketika disuruh untuk segera
menarik oabat anti-nyamuk HIT dari peredaran, ia tidak segera melakukannya.
Dari sumber Suara Karya Online dikatakan bahwa izin produksi obat anti-nyamuk
jenis semprot dan cair isi ulang telah berakhir pada 2003 dan April 2004.
Komisi Pestisida Deptan pun telah mengeluarkan larangan resmi pemakaian semua
produk yang mengandung Dichlorvos. Namun pada tanggal 7 Juni 2006 ketika
diadakan inspeksi mendadak oleh Deptan, kedua jenis obat anti-nyamuk tersebut
ditemukan di dalam pabrik. Alasannya yang dikemukakan Manajer Urusan Umum,
Ahmad Bedah Istigfar, yang menyatakan bahwa mereka masih memproduksi dua jenis
obat anti-nyamuk terlarang itu karena belum mempunyai formula baru untuk mengganti
Dichlorvos tetap saja tidak bisa dibenarkan. Karena ini menyangkut hak-hak
konsumen, bahkan mengancam keselamatan mereka. Jadi terbukti bahwa sampai
sekarang, PT Megarsari Makmur belum juga menarik produknya yang berbahaya
tersebut dari peredaran.
4. Pasal 19
a.
Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
b.
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
c.
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar